⭐ Pengolahan Bahan Bahan Di Pabrik Yang Besar Digunakan Teknologi

Bandung Kementerian Perindustrian terus berupaya mendorong pemanfaatan inovasi teknologi untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Salah satu upayanya adalah dengan mengembangkan mesin untuk pemanfaatan limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) yang digunakan sebagai bahan baku alternatif industri kertas. MenteriMenteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir melakukan kunjungan kerja ke Kota Dumai, Kamis (16/5/2019). Tren Motor Lama yang Naik Daun; Enam Bulan Kabur, Tersangka Ditangkap di Muaro Bungo Jambi; Bahan Bakar Nabati Bisa Kurangi Ketergantungan Terhadap Impor BBM. TeknologiMakanan Ilmu tentang Pengolahan Bahan pangan. Secara sederhana Teknologi Makanan mencakup semua kegiatan Pengolahan Pangan dari mulai mengumpulkan bahan mentah proses pengolahan hingga distribusi hasil olahan. Bahan mentah di kumpulkan setelah proses pemanenan. Untuk mendapatkan hasil yang baik pengumpulan bahan mentah Dimanasemakin banyak produk yang dihasilkan maka semakin banyak bahan yang digunakan dan biaya yang digunakan akan semakin besarjuga, misalnya: biaya perbaikan, pemebelian bahan, sewa alat, upah buruh, dan lain-lain (Waldiyono, 2008). a. Biaya tetap Biaya tetap terdiri dari: 1. Biaya penyusutan (metode sinking fund) Sedangkanperusahaan yang melakukan pengolahan bijih besi menjadi besi spons (sponge iron) hanya terdapat dua buah perusahaan yaitu PT.Meratus Jaya Iron & Steel dan PT.Delta Prima Steel dengan kapasitas produksi masing-masing sebesar 315 ribu ton dan 100 ribu ton (Tabel 2.2). Tabel 2.2 Perusahaan Pengolahan Bijih Besi No Nama Perusahaan Lokasi Pengolahanbahan mentah menjadi bahan jadi di pabrik dilaksanakan secara. Question from @DimasJHS - Sekolah Menengah Pertama - Ips. Pengolahan bahan mentah menjadi bahan jadi di pabrik dilaksanakan secara. Question from @DimasJHS - Sekolah Menengah Pertama - Ips Bahan bakar Pertamax bebas polusi Answer. DimasJHS June 2019 Pengolahanbahan-bahan di pabrik yang besar digunakan teknologi TOLONG DIJAWAB - 45857731 dsopyan960 dsopyan960 1 minggu yang lalu Lihat jawaban Iklan Iklan mrr4681 mrr4681 Jawaban: Pengolahan Bahan-Bahan di pabrik yang besar menggunakan teknologi MODERN. Penjelasan: SEMOGA BERMANFAAT. Iklan Iklan anaadel591 Umumnyaada beberapa teknologi IPAL yang digunakan untuk mengolah limbah cair, seperti rotating biological contactor (RBC), aerasi kontak, Reverse Osmosis dan Biofilter. Di Indonesia, teknologi pengolahan yang paling sering digunakan adalah dengan biofilter. Biofilter merupakan metode pengolahan air limbah dengan memanfaatkan mikroorganisme. sistempengawetan menggunakan teknologi pengalengan untuk mencegah kerusakan dari paangan (buah-buahan, daging, sayur, dan pangan olahan lainnya), ini merupakan bahan ajar yang digunakan untuk mengajar mahasiwa teknologi hasil pertanian universitas sriwijaya jhysjfkjd;lkjhbvjfkdsjvhlj;kj;gfghjkl;lkjh. Buka menu navigasi. Tutup saran Cari Cari. . Packaging atau pengemasan di industri farmasi merupakan bagian utama selain dari pengolahan obat. Pengemas di industri farmasi berguna untuk perlindungan, keamanan dan informasi bagi pasien. Di Industri farmasi bahan pengemas yang digunakan sangat beragam untuk berbagai tujuan penggunaan. Bahan kemas farmasi ini terdapat dalam berbagai bentuk tipe dan jenisnya. Kegunaan Bahan Kemas Farmasi Menyimpan dan melindungi produk obat sehingga menjaga stabilitas serta efikasi obat Untuk identifikasi obat Menjaga produk obat dari degradasi Untuk promosi produk obat Mengandung informasi yang penting seperti nomor batch, tanggal pembuatan, tanggal kadaluarsa dan harga eceran tertinggi HET. Di Indonesia sendiri penandaan yang wajib adalah nomor izin edar, nomor batch, HETdan tanggal kadaluarsa. Nomor batch, HET dan tanggal kadaluarsa biasanya dicetak menggunakan inkjet printer sedangkan nomor izin edar NIE sudah tercetak sedari awal. Untuk manufacturing date tanggal pembuatan obat setahu saya tidak wajib dicantumkan akan tetapi lebih baik tertera. Karakteristik Bahan Pengemas yang Baik Berikut ini merupakan karakteristik utama bahan pengemas yang harus dimiliki Dapat memberikan proteksi produk obat dari lingkungan seperti suhu dan kelembapan Harus berfungsi sebagai barier/penghalang dari penetrasi kelembapan Harus berfungsi sebagai barier/penghalang dari penetrasi gas Menjaga dari oksidasi dan reduksi Menjaga dari cahaya Menjaga dari kebocoron selama transportasi/pengangkutan Kodifikasi atau pencetakan bahan kemas mudah serta stabil Tipe Bahan Pengemas Terdapat tiga tipe bahan pengemas yaitu 1. Bahan Kemas Primer Bahan kemas primer adalah bahan kemas farmasi yang kontak bersentuhan langsung dengan produk obat. Bahan kemas primer dapat berupa untuk dosis tunggal atau dosis multi. Dosis tunggal mengnadung satu dosis yang digunakan sekali saja. Contoh dari dosis tunggal adalah sachet atau ampul. Contoh multi dosis adalah vial. Ada juga vial yang sekali pakai juga. Bahan kemas primer harus kompatibel dengan produk, tidak mencemari produk obat. Tidak boleh bereaksi dengan produk. Tidak ada yang harus keluar dari kemasan utama ke produk atau produk ke kemasan utama. Berikut contoh-contoh dari bahan kemas primer CicatriceBahan kemas cicatrice merupakan bahan kemas paling umum untuk sediaan padat seperti tablet dan kapsul. Kemasan ini terbuat dari plastik yang dapat dibentuk dengan panas, dilengkapi juga dengan alumunium foil yang mudah disobek dengan blister obat tablet/kapsul mudah diambil untuk digunakan oleh pasien. Adanya plastik film transparan memudahkan pengenalan obat tablet. Lebih dari 40 tahun blister pack telah diadopsi di industri farmasi karena fleksibilitas pada kemas cicatrice dapat melindungi obat dengan platonic dari cemaran mikroba atau kelembapan. Keunggulan blister lainnya adalah dapat terlihat obat tablet sudah diambil atau belum sehingga meningkatkan kepatuhan pasien. Strip Ampul Vial BotolBotol dapat berupa gelas atau plastik. Botol gelas dapat transparan bening atau tempered untuk menjaga produk dari cahaya. Tipe gelas yang paling umum adalah gelas amber, bahan ini bening dan menjaga produk obat dari sinar UV yang dapat merusak produk obat. Terdapat tiga tipe gelas yaitu tipe I ultra-resistant borosilicate glass, tipe Two surface treated soda lime drinking glass dan tipe Iii soda lime drinking glass. Botol juga dapat terbuat dari plastik. Jenis-jenis plastik antara lain PET polyethylene terephthalate, HDPE high-density polyethylene dan PP polypropylene. Sachet Tube Alumunium tube / plastic tubeAlumunium tube merupakan bahan kemas primer paling populer yang berupa logam. Selain itu ada juga kaleng. Syringe Bahan Kemas Primer Vial Bahan Kemas Primer Blister Pack Syringe Bahan kemas primer Steril Bahan kemas primer steril digunakan untuk memastikan produk obat terjaga stabilitas dan menjaga dari kontaminasi mikroorganisme. Jenis bahan kemas steril berasal dari HDPE dan PP. two. Bahan Kemas Sekunder Bahan kemas sekunder adalah tipe bahan kemas dimana tidak terdapat kontak langsung produk obat. Bahan kemas farmasi sekunder mengandung bahan kemas primer. Contoh dari bahan kemas sekunder adalah box yang mengandung botol obat atau karton box yang mengandung blister. Karton box dapat sebagai bahan kemas sekunder ataupun bahan kemas tersier. Contoh lain bahan kemas sekunder adalah dus, dus ini berupa kertas yang berfungsi menjadi wadah kemasan primer. Contohnya dus yang mengandung botol sirup parasetamol. Dus kertas sebagai bahan kemas sekunder Dus sebagai bahan kemas sekunder Dus kertas sebagai bahan kemas sekunder 3. Bahan Kemas Tersier Bahan kemas tersier adalah tipe bahan kemas yang mengandung beberapa bahan kemas sekunder. Bahan kemas memberikan perlindungan kemasan selama transportasi. Bahan kemas ini mempermudah handling produk. Contoh bahan kemas tersier yang paling umum adalah karton box berwarna coklat. Karton Box Corrugated sebagai bahan kemas tersier Bahan Kemas dan Regulasi BPOM Perlu diketahui bahwa tipe bahan kemas primer dan sekunder serta artworknya desain, informasi yang tertulis harus disetujui BPOM selama registrasi obat. Sedangkan bahan kemas tersier tidak perlu adanya persetujuan dari regulator BPOM. Bahan kemas primer dan sekunder sangat penting karena terkait dengan kualitas, efikasi dan informasi yang tertera untuk pasien, sendangkan bahan kemas tersier tidak sampai menjadi konsumsi dari pasien. Bila ada perubahan, walaupun sedikit pada kemasan primer dan sekunder harus mengajukan registrasi variasi ke BPOM. Pengalaman saya menghandle bahan kemas ini harus hati-hati terkait perubahan artwork nya yaitu Nomor Izin Registrasi, nomor izin ini tertera pada bahan kemas primer dan sekunder. Kesalahan satu nomor saja bisa mengakibatkan fatal kerugian bagi industri bahkan penarikan produk dari pasaran. Nama Obat jangan sampai salah nama obat yang tertera pada kemasan. Jangan sampai salah juga pada huruf besar, kecil, tulisan miring maupun jenis font Jangan boleh ada salah ketik pada kemasan. Ini biasanya terjadi pada leaflet dimana leaflet mengandung informasi banyak sekali. Contoh Lealflet/Brosur obat Barcode jangan sampai salah nomor barcode Serialisasi jangan sampai terjadi salah desain atau salah nomor serial pada kemasan Warna jangan sampai terjadi kesalahan warna kode pantone/ TC pada kemasan primer sekunder Referensi Home M. Fithrul Mubarok, adalah Blogger Professional Farmasi Industri pertama di Republic of indonesia, pendiri dan pengarang dari sebuah weblog farmasi industri satu-satunya di Republic of indonesia. Anda dapat berlangganan subscribe dan menfollow weblog ini untuk mendapatkan artikel terkait farmasi industri. Electronic mail [email protected] WhatsApp/WA 0856 4341 6332 Kebutuhan gula di Indonesia tinggi, namun produksi gula di Indonesia rendah. Oleh karena itu, pemerintah melakukan impor gua untuk memenuhi kebutuhan gula di Indonesia. Agar tidak keterganatungan terhadap impor gula, pemerintah harus mengadakan swasembada gula yang diwujudkan dengan menambah pabrik gula sehingga produksinya meningkat. Penambahan prabik ini akan berimbas juga pada meningkatnya air limbah di sekitar industri gula. Air limbah yang berasal dari industri gula memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Karena kandungan bahan organik yang tinggi, air limbah ini tidak dapat langsung dibuang ke llingkungan. Oleh karena itu, air limbah ini perlu diolah untuk mengurangi kadar organiknya. Pengolahan air limbah ini terbagi dua yaitu secara biologis dan fisiko-kimia. Pengolahan secara biologis dibagi menjadi dua yaitu metode anaerob dan metode aerob. Pengolahan secara anaerob menggunakan reaktor seperti UAFB,UASB, dan AFR, sedangkan pengolahan secara aerob menggunkan ASFF, laguna teraerasi, dan SBR. Untuk pengolaha secara fisiko-kimia menggunakan flokulasi/koagulasi, elektrokimia, dan adsorpsi. Dari kesemua metode hingga saat ini belum ada yang mampu menghilangkan kandungan bahan organik didalam air limbah secara 100%. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensinya dapat menggunakan metode hibrida dengan menggabungkan penggunaan membrane, metode pengolahan secara biologis, dan metode pengolahan secara fisiko-kimia. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 SUMBER, TEKNOLOGI PENGOLAHAN, DAN DAUR ULANG DARI AIR LIMBAH PADA PABRIK GULA Yuda Satria Syaifi Abstrak Kebutuhan gula di Indonesia tinggi, namun produksi gula di Indonesia rendah. Oleh karena itu, pemerintah melakukan impor gua untuk memenuhi kebutuhan gula di Indonesia. Agar tidak keterganatungan terhadap impor gula, pemerintah harus mengadakan swasembada gula yang diwujudkan dengan menambah pabrik gula sehingga produksinya meningkat. Penambahan prabik ini akan berimbas juga pada meningkatnya air limbah di sekitar industri gula. Air limbah yang berasal dari industri gula memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Karena kandungan bahan organik yang tinggi, air limbah ini tidak dapat langsung dibuang ke llingkungan. Oleh karena itu, air limbah ini perlu diolah untuk mengurangi kadar organiknya. Pengolahan air limbah ini terbagi dua yaitu secara biologis dan fisiko-kimia. Pengolahan secara biologis dibagi menjadi dua yaitu metode anaerob dan metode aerob. Pengolahan secara anaerob menggunakan reaktor seperti UAFB,UASB, dan AFR, sedangkan pengolahan secara aerob menggunkan ASFF, laguna teraerasi, dan SBR. Untuk pengolaha secara fisiko-kimia menggunakan flokulasi/koagulasi, elektrokimia, dan adsorpsi. Dari kesemua metode hingga saat ini belum ada yang mampu menghilangkan kandungan bahan organik didalam air limbah secara 100%. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensinya dapat menggunakan metode hibrida dengan menggabungkan penggunaan membrane, metode pengolahan secara biologis, dan metode pengolahan secara fisiko-kimia. Kata kunci air limbah, industri gula, organik, pengolahan, aerob, anaerob, fisiko-kimia 1. Pendahuluan Kebutuhan akan gula di Indonesia cukup tinggi, pada tahun 2010 total kebutuhan gula di Indonesia mencapai angka 5,01 juta ton. Namun disisi produksi gula, Indonesia hanya mampu menyediakan sebesar 2,29 juta ton. Pada tahun 2016, diperkirakan kebutuhan gula akan mencapai angka 5,7 juta. Untuk memenuhi, kebutuhan gula tersebut Indonesia memproduksi sekitar 2,9 juta ton gula dan sisanya mengimpor dari luar negeri. Di Indonesia terdapat kurang lebih 70 pabrik gula. Dari 70 pabrik tersebut, sebagian besar berada di Pulau Jawa. Dari 70 pabrik tersebut, terdapat beberapa pabrik yang tidak beroperasi. Untuk mengurangi jumlah gula yang diimpor setiap tahun, pemerintah perlu pabrik gula tambahan sehingga produksi gula nasional dapat meningkat. Dibandingkan dengan India, produksi gula Indonesia masih jauh tertinggal. Sebagai perbandingan, pada tahun 2011-2012 di India terdapat 529 pabrik gula, dengan produksi gula nasional sebesar 29 juta ton. Dalam penambahan jumlah pabrik gula tersebut, disertai juga dengan penambahan produksi air limbah dari pabrik gula. Air limbah pabrik gula ini memiliki kandungan zat organic yang sangat tinggi, sehingga berbahaya jika dibuang langsung ke lingkungan. Di Indonesia, air limbah di dalam pabrik gula langsung di buang ke lingkungan dikarenakan belum terdapat unit pengolahan air limbah. Padahal dengan begitu banyaknya pabrik gula di daerah Jawa, pembuangan air limbah dengan tinggi kandungan zat organic dapat menyebabkan hilangnya kesuburan tanah, sehingga Pulau Jawa yang notabene merupakan pulau yang subur, kesuburan tanahnya akan terus berkurang. Seperti yang telah disebutkan diatas, air limbah dari industri gula dapat menyebabkan polusi bagi ekosistem di air maupun di darat. Air limbah ini memiliki nilai BOD, COD, dan TSS yang tinggi. Dari literatur juga menyebutkan bahwa air limbah dari industri gula juga tinggi akan kandungan karbohidrat dan protein. Selain itu, kandungan lain yang terdapat pada air limbah ini adalah minyak padat, senyawa basa dan asam. Bahan-bahan organic tersebut jika terbuang ke perairan dapat menyebabkan jumlah oksigen yang terlarut di dalam air akan berkurang, yang disebabkan oksigen tersebut digunakan oleh bakter-bakteri aerob untuk menguraikan bahan organic tersebut. Karena jumlah oksigen terlarut menipis, akibatnya ikan-ikan dan organisme air lainnya mati karena kekurangan oksigen. Bahan organic yang tinggi juga akan menyebabkan peledakan populasi eceng gondok. Dengan tingginya nutrien dari air limbah industri gula menyebabkan pertumbuhan eceng gondok dapat meledak dengan cepat. Banyaknya eceng gondok dapat menyebabkan ekosistem terganggu dan kematian berbagai biota air yang lain. Penyebabnya adalah terhalang sinar matahari ke dalam air akibat terhalang daun eceng gondok sehingga jumlah oksigen terlarut dalam air berkurang drastis. Untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan diatas, dibutuhkan unit pengolahan air limbah yang berasal dari industri gula. Terdapat dua pengolahan untuk mengolah air limbah dari industri gula. Pengolahan pertama adalah secara fisik, yang terdiri dari filtrasi, sedimentasi dan penyetaraan muatan. Pengolahan kedua merupakan pengolahan secara biologis, pengolahan ini terdiri dari aerated lagoon, up-flow anaerobic sludge blanket 2 UASB, expanded granular sludge blanket, dll. Di dalam pengolahan secara biologis, dapat terjadi secara aerob, anaerob, maunpun campuran di antara keduanya. Di dalam paper ini akan di bahas tentang sumber penghasil air limbah dalam pabrik gula, karakteristik air limbah, teknologi pengolahan air limbah dan juga teknologi daur ulang air limbah sehingga dapat digunakan kembali. 2. Proses Pembuatan Gula Dalam pabrik gula, terdapat proses-proses penting yang terlibat dalam pengolahan gula yaitu penggilingan tebu, klarifikasi, evaporasi, dan pemasakan gula. Berikut adalah proses-proses dalam industri gula 1. Preparasi tebu Pada bagian ini, tebu akan dipotong-potong menjadi lebih kecil sebelum masuk ke bagian ekstraksi jus tebu. Hal ini berfungsi untuk memudahkan proses ekstraksi dan meningkatkan efisiensi ekstraksi tebu. 2. Ekstraksi jus tebu Proses ini berfungsi untuk mengambil sukrosa dari tebu. terdapat dua teknologi yang sering digunakan pengggilingan atau difusi. A. Penggilingan Penggilingan adalah proses menekan tebu menggunakan tekanan yang tinggi. Untuk meningkatkan efisiensi penggilingan, selama proses ditambahkan juga air imbibisi. Jus yang didapatkan dari proses ini memiliki kandungan yang rendah gula, lalu dipompa kembali ke penggiling sebelumnya dan dicampurkan dengan tebu sebelum masuk ke roller, jus dari proses penggilingan ini dengan cara yang sama akan dipompa kembali ke unit penggilingan. Jus campuran diambil dari penggiling pertama dan kedua untuk melanjutkan ke proses selanjutnya. B. Difusi Difusi adalah proses mengekstraksi sukrosa dari tebu menggunakan air imbibisi tanpa memberikan tekanan kepada menggunakan penggiling. Tebu yang telah dipotong-potong menjadi kecil dimasukkan ke dalam diffuser di bagian akhir umpan, air panas dicampurkan ke dalam tebu tersebut sebelum bagian akhir dari diffuser. Air panas ini akan merembers masuk ke dalam tebu, dan menghilangkan sukrosa dari tebu. Jus terlarut ini lalu dikumpulkan dan dipompa kembali ke bagian yang dekat dengan ujung umpan, dan larutan jus ini akan merembes kembali kedalam tebu. Pada titik ini, konsentrasi sukrosa di dalam tebu lebih tinggi didalam konsentrasi sukrosa di dalam larutan, sehingga sukrosa dari tebu akan berpindah ke dalam larutan. Lalu larutan yang lebih kaya akan gula akan dipompa kembali ke dalam diffuser dan proses akan diulangi sebanyak 12 sampai 15 kali. 3. Klarifikasi Jus Tebu. Proses ini berfungsi untuk menghilangkan padatan dari jus, seperti lumpur, wax, dan serat. Pada bagian ini, juga terjadi penambahan kalsium hidroksida untuk meningkatkan pH dari gula tebu dari menjadi 7. Kalsium hidroksida juga berfungsi untuk menjaga sukrosa terurai menjadi glukosa dan fruktosa. Campuran ini kemudian, dipanaskan hingga melewati titik didihnya. Proses selanjutnya kemudian, suhu diubah menjadi suhu jenuhnya, sehingga pengotor akan terkristalkan dalam bentuk kalsium karbonat. Lalu jus jenuh ini, akan dimasukkan ke dalam unit klarifikasi untuk menghilangkan padatan tersunpensi. Hasil dari proses ini akan dimasukkan ke dalam evaporator. 4. Penguapan Jus Penguapan jus berfunsgi untuk meningkatkan kosentrasi sukrosa hingga menjadi 60% berat. Proses penguapan ini menggunakan multiple-effet evaporator. 5. Kristalisasi dan Sentrifugasi Sirup yang dihasilkan melalui evaporasi kemudian di tingkatkan konsentrasinya pada unit penguapan vakum, hingga menjadi super jenuh. Lalu kristal gula ini di suspensikan ke dalam alcohol dan dimasukkan kembali kedalam penguapan vakum sebagai kristal bibit dimana sukrosa tersimpan. Kristal akan terus mengmebang hingga ke ukuran dimana siap masuk ke proses berikutnya. Terdapat beberapa skema pendidihan, namun umumnya yang digunakan adalah three-boiling scheme. Metode ini menguapkan larutan gula dalam tiga tahap, yaitu tahap A, tahap B, tahap C. Kristal gula yang telah dididihkan kemudian akan disentrifugasi, sehingga kristal gula dapat terpisah dari larutan induk. Gula yang dihasilkan dari proses ini akan di keringkan dan kemudian disimpan atau langsung dikirim untuk dijual. Larutan induk dari langkah A kemuidan dikristalisasi lagi di penguapan vakum dan melewati proses sentrifugasi kontinyu. Dikarenakan kemurnian yang rendah proses evaporasi dan kristalisasi saja tidak cukup untuk melepaskan molase. Sehingga hasil dari proses tersebut dimasukkan ke dalam cooling crystallizers hingga suhunya mencapai kurang lebih 45oC. Lalu hasilnya kemudaian dipanaskan ulnag untuk menurunkan viskositas dan kemudia dibersihkan di Tabel 3. Karakteristik air limbah dari industri gula mg/L [4] Sentrifugal bagian C. sehingga hasil dari sentrifugasi C disebut molase. Gula yang dihasilkan dari sentifugasi bagian B dan C di lelehkan kembali, disaring dan ditambahkan ke sirup yang berasal dari tahap evaporasi. Untuk lebih jelasnya diagram alir dari proses pembuatan gula dapat dilihat pada gambar berikut Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Gula dalam Indusntri [7,8] 3. Proses, Sumber, dan Karakteristik Air Limbah Dalam proses pembuatan gula, banyak sekali proses yang membutuhkan utilitas air dan juga membuang effluent yang besar ke lingkungan. Pada bagian 2 telah dijelaskan bahwa proses penggilingan tebu dibutuhkan air yang disebut air imbibisi. Penggunaan air imbibisi ini berfungsi untuk mengefektifkan proses penggilingan tebu. Selain itu, Selain pada saat evaporasi, air juga dibutuhkan untuk kondenser pada unit evaporasi dan unit masakan dan sentrifugasi. Sesuai dengan Water Prevention and Control Pollution Cess Rues 1978, kebutuhan air dalam industri gula adalah 2,0 m3/ton tebu yang digiling dan menghasilkan air limbah sejumlah 0,40 m3/ton dari tebu yang digiling. Sebagai perbandingan di India terdapat 530 pabrik gula dengan kapasitas penggilingan ton/hari, maka kebutuhan air dan air limbah yang dihasilkan sebesar m3/hari dan m3/hari. Berikut tabel konsumsi air dan effluent pada industri gula Tabel 1. Generasi effluent per hari Gunjal & Gunjal 2013 Pembersihan dan pencucian Hot liquor pumps for gland cooling Aliran berebih dari kolam spray Generasi effluent per ton tebu L/ton Tabel 2. Konsumsi air dalam industri gula Gunjal & Gunjal 2013 Hot liquor pump gland cooling Air hangat yang dipindahkan ke sistem kondenser pendingin Tabel 2. Konsumsi air dalam industri gula lanjutan Gunjal & Gunjal 2013 Water to waste - Hot liquor pumps for cooling Air untuk pembersihan dan kebutuhan lain-lian Pencucian dan pembersihan harian Penggunaan laboratorium dan air minum Kebutuhan air total 2-5 m3/d Air limbah dalam industri gula banyak dihasilkan melalui proses pembersihan unit operasi yang digunakan. Pencucian unit penggilingan, unit evaporasi, clarifier, sentrifugasi, dll menghasilkan air limbah yang sangat besar. Pencucian untuk unit rotary vacuum filter dan pembersihan air kapur dan unit pemroduksi gas SO2 juga turut andil dalam penghasil air limbah. Pembersihan periodik dari penukar panas dan evaporator menggunakan NaOH dan HCl untuk membuang kerak yang terbentuk pada permukaan penukar panas dan evaporator berperan dalam adanya kandungan polutan organik dan inorganik pada air limbah. Kebocoran pada pompa, perpipaan, dan unit sentrifugasi juga menghasilkan air limbah. 4 Air limbah dari pengolahan gula mengandung berbagai macam zat, seperti mengandung jus tebu yang terbuang selama proses produksi gula, deterjen, partikel ampas tebu/bagasse, minyak dan lemak yang digunakan sebagai pelumas, dan padatan gula yang hilang selama proses produksi. Air limbah hasil produksi gula dikarakterisasi dengan kandungan yang tinggi akan nutrients, bahan organik dan inorganik. Air limbah dari proses produksi gula dapat dikarakterisasi dengan kandungan nutrient, bahan organik dan inorganik. Kuantitas dan komposisi dari air limbah tergantung pada produk akhir, proses produksi, peralatan yang digunakan, dan variasi komposisi. Di dalam air limbah mengandung banyak sekali BOD dengan konsentrasi sebesar mg/L dan COD dengan konsentrasi sebesar mg/L. Besarnya konsentrasi COD di dalam air limbah disebabkan oleh jus tebu dan padatan gula yang terbuang selama proses produksi. pH dari air limbah berada dalam rentang 4,5-10 dan konsentrasi total solids TS sebesar ± 62 mg/L[13]. Selain yang telah disebutkan tadi, di dalam air limbah juga mengandung nutrient dengan konsentrasi sebesar 15-40 mg/L, serta phosphorus sebesar 1,3-12 mg/L. Melalui data dari berbagai literatur, didalam air limbah terkandung klorida dengan konsetrasi yang tinggi sebesar mg/L, selain itu juga terdapat ion Ca2+, SO42-, Na+, K+, dan logam berat. Karakteristik dari air limbah di industri gula berdasarkan berbagai literatur dapat dilihat pada tabel 3. Keterangan tabel 3 BSI beet sugar industri CSI cane sugar industri SBS synthethic beet sugar air limbah SR sugar refinery CSIa CSI with oil 23 mg/L CSIb CSI with oil and grease 118 mg/L 4. Metode Pengolahan Seperti terlihat pada tabel 3, air limbah dari industri gula banyak sekali mengandung bahan organik dan inorganik. Oleh karena itu, sebelum dibuang ke lingkungan harus diolah terlebih dahulu agar tidak mencemari lingkungan. Pengolahan air limbah dapat menggunakan cara fisik seperti pengayakan, sedimentasi, flotasi udara terlarut, penyetaaraan aliran, dll yang berguna untuk mengurangi jumlah padatan tersuspensi yang terkandung dalam air limbah. Sedangkan untuk mengurangi kadar bahan organik dan disinfeksi dapat menggunakan metode secara biologi. Pengolahan secara biologi berupa pengolahan secara anaerob dan aerob. Selain pengolahan secara biologi, pengolahan secara fisiko-kimia juga dapat digunakan. Metode Biologi Karena, air limbah pada industri gula mengandung banyak sekali gula dan asam lemak volatil yang mudah diuraikan secara biologis, maka pengolahan secara biologi cocok untuk digunakan. Pengolahan secara anaerob Pengolahan secara anaerob sudah banyak digunakan di dalam industri. Keuntungan pengolahan secara anerob dibandingkan dengan secara aerob antara lain 5 membutuhkan energi yang lebih sedikit, menghasilkan metana yang bisa dijadikan sumber energi, dan lebih sedikit menghasilkan lumpur sehingga menurunkan biaya yang dikeluarkan untuk membuang lumpur tersebut[16-18]. Pengolahan secara anaerob menggunakan berbagai macam reaktor yang sudah sering digunakan didalam industri, seperti reaktor anaerob partaian, reaktor anaerob unggun tetap / anaerobic fixed bed reactor AFR, up-flow anaerobic fixed bed UAFB reactor, dan UASB reaktor. Pada awalnya pengolahan anaerob tidak dilakukan di dalam reaktor, melainkan dilakukan di kolam. Dengan cara ini, pengolahan air limbah membutuhkan tempat yang sangat luas dan efisiensinya jauh lebih kecil daripada menggunakan reaktor. Sannchez Hernnandez dan Travieso Cordoba menujukkan bahwa penggunaan anaerob fixed bed reactor dapat dengan efektif menghilangkan COD dan BOD di dalam air limbah bekas penggilingan. Efektifitas penghilangan COD di dalam air limbah berbanding lurus dengan kenaikan hydraulic retention time HRT. HRT yang digunakan antara lain 0,5 hari; 1 hari; 2 hari; 4 hari. Pada HRT yang digunakan adalah 2 hari COD yang berhasil dihilangkan dapat mencapai 80%, sedangkan pada HRT selama 4 hari COD yang dihilangkan dapat mencapai 90%. Kebanyakan industri gula hanya mengimplementasikan pretreatment untuk pemisahan zat padat dengan clarifier / sistem flotasi terlarut. Effluent yang dibuang dari harus menerima pengolahan lanjutan sebelum dapat dibuang ke lingkungan. Namun beberapa tempat penggilingan menggunakan air limbah untuk digunakan sebagai air untuk irigasi. Namun pada kenyataan justru penggunaan air ini sebagai sumber irigasi malah menyebabkan hasil pertanian menurun, kualitas tanah menurun, dan pertumbuhan tanaman menurun. Berdasarkan jurnal ilmiah dari Mehrdad Farhadian, Mehdi Borghei, dan Valentina V. Umrania Pada reaktor up-flow anaerobic fixed bed UAFB pada temperatur 32-34 oC dengan HRT selama 20 jam dan COD influent sebesar 2000-8000 mg/L efisiensi maksimum yang dapat dihasilkan adalah sebesar 75%-93%. Untuk menghasilkan efisiensi penghilangan COD lebih dari 90% perlu packing yang sesuai, didalam reaktor UAFB ini juga dapat mentolerir umpan organik yang sangat tinggi hingga 10 kg COD/m3 tanpa menyebabkan masalah terhadap operasi. Berikut skema dari reaktor UAFB Gambar 2. Skema Reaktor UAFB Peixoto dkk, 2011 Reaktor UASB dapat menghilangkan kandungan COD hingga 80% pada air limbah yang berasal dari industri buah dan sayur dalam waktu 5 minggu sejak reaktor dijalankan. Dengan menggunakan beban organik sebesar 2,7 g COD/L reaktor UASB dapat menghasilkan efisiensi rata-rata hinga 86%. Menurut Fang dan Chui efisiensi penghilangan COD pada reaktor UASB tergantung kepada laju umpan bahan organik dan tidak sensitive terhadap level COD pada air limbah dan waktu tinggal hidrolik HRT. Untuk meningkatkan operasi maksimum pada reaktor UASB disarankan untuk menggunakan operasi beban bertahap. Metode ini dapat dilanjutkan dengan mempertimbangkan jumlah laju beban bahan organik dan waktu tinggal hidrolik, sebagia contoh peningkatan OLR dari 1 kg COD/m3 ke 2 kg COD/m3 ke 3 kg COD/m3 dan seterusnya. Metode proses beban bertahap ini dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas bakteri metanogen dan melanjutkan efisiensi reaktor. Untuk meningkatkan efisiensi penghilangan COD terutama untuk air limbah yang kaya akan karbohidrat, perlu dilakukan hidrolisis, yang disarankan dilakukan secara dua tahap di dalam reaktor UASB. Reaktor pertama berfungsi sebagai tempat untuk hidrolisis dan asidifikasi, dan produk dari rekator pertama akan menjadi umpan pada reaktor kedua. Reaktor kedua berfungsi sebagai reaktor metanogenesis[5]. Untuk reaktor UASB mesofilik, kinerja telah dipelajari dan dievaluasi oleh Nacheva, dkk dalam pengolahan air limbah hasil penggilingan tebu. Dari jurnal ilmiah mereka lebih dari 90% COD berhasil dihilangkan pada OLR lebih dari 16 kg/m3 dan juga menghasilkan biogas yang banyak. Pada akhirnya mereka mendapatkan kesimpulan bahwa standar buangan dalam hal konsentrasi COD dapat ditemukan jika reaktor UASB dioperasikan pada OLR rendah 4 kg COD/m3, namun pada OLR tinggi, diperlukan tambahan 6 tahap pengolahan secara biologi. Hampannavar dan Shivayogimath juga melaporkan pengolahan air limbah dari industri gula menggunakan UASB reaktor yang diisi dengan endapan lumpur non-granular yang dapat diurai secara anaerob yang dioperasikan dengan OLR 0,5 – 16 kg COD/m3d . waktu tinggal hidrolik optimal yang dibutuhkan untuk menghilangkan COD sebesar 89,4% sebesar 6 jam. Skema dari reaktor UASB dapat dilihat pada gambar 3. Gambar 3. Skema reaktor UASB Kinerja berbagai reaktor dalam mengolah air limbah dari industri gula dapat dilihat pada tabel 4. Karakteristik limbah, konfigurasi reaktor, dan parameter operasional semuanya mempengaruhi efisiensi dari pengolahan secara anaerob. Juga karakteristik limbah tidak sesuia untuk pengolahan secara anaerob, maka alternatif lainnya adalah menggunakan co-digestion cara ini akan meningkatkan penguraian limbah dengan karakteristik yang berbeda Alkaya dan Demirer menggunakan air limbah dari industri gula-bit sebagai subjek untuk sistem co-digestion untuk biodegradasi anaerob di dalam reaktor partaian. Sekitar 63,7–87,3% dari padatan volatil tersuspensi VSS hilang teramati untuk 0,51-2,56 g COD / g VSS F/M range. Hal ini menunjukkan tingginya biodegradibilitas untuk air limbah dan bubur bit. Alkaya dan Demirer melakukan percobaan untuk mengolaha air limbah dari proses pembuatna gula-bit, dan bubur bit secara serempak. Limbah pertama diolah di dalam batch-fed continuously mixed anaerobic reactor FCMR. Dan reaktor yang sama digunakan sebagai anaerobic seauentia batch reactor SBR, dan performansi diantara keduanya dibandingkan melalui produksi metana. Dari percobaan tersebut dilaporkan bahwa terjadi kenaikan efisiensi sebanyak 32,2% ketika kofigurasi diganti dari FCMR menjadi SBR. Samaraweera, dkk [29] mempelajari pengolahan anaerob untuk air limbah dari industri gula dan melaporkan bahwa klorinasi, penambahan makronutrien, dan pengikatan temperatur meningkatkan proses penghilangan filament dan lipopolisakarida dari tanki anaerob, pengurangan konsentrasi dari padatan berlebih yang berasal dari clarifier anaerob, peningkatan konsentrasi padatan underflow dari clarifier anaerob, peningkatan alkalinitas di dalam tanki anaerob, peningkatan persen metana di dalam biogas, dan peningkatan beban COD. Berbagai tahap yang terlibat di dalam degradasi polutan organik oleh proses anaerob terdiri dari hidrolisis, atau fermentasi, asetogenesis, dan metanogenesis, dan dalam proses anaerob melibatkan bakteri fermentasi, bakteri asetogen dan metanogen. Alkaya dan Demirer mempelajari untuk memaksimalkan hidrolisis dan asidifikasi air imbah dari pemrosesan gula-bit dan bubur bit untuk memproduksi asam lemak volatil menggunakan metabolism asidogenik anaerob di dalam reaktor anaerob kontinyu. Langkah yang penting di dalam proses ini adalah untuk menghambat aktivitas metanogen. Waktu tinggal hidrolik optimum adalah 2 hari dengan perbandingan pencampuran, limbah sebesar 11 menunjukkan konsentrasi asam lemak volatil tertinggi sebesar ± 209 mg/L sebagai asam asetat dengan derajat asidifikasi sebesar 46,9 ± 2,1%. Immobilize bakteri pada padatan mendukung pemisahan cairan–sel dan mengizinkan sistem untuk menahan biomassa aktif yang lebih tinggi selama proses pengolahan anaerob. Jordening, dkk menginvestigasi sistem untuk hidrolisis/asidifikasi dari air limbah yang mengandung sukrosa dengan immobilize bakteri pada padatan pendukung. Untuk proses hidrolisis dan denitrifikasi organik, fixed bed reactor digunakan dan nitrifkasi dipelajari di dalam rekator yang menggunakan sistem airlift untuk air limbah dari industri gula. Disimpulkan bahwa material berpori dapat tahan dengan kuantitas biomassa besar yang digunakan untuk hidrolisis hingga 55 kg/m3. Selama nitrifkasi batu apung digunakan sebaga material pendukung menunjukkan hasil terbaik dengan 1,2 kg NH4-N/m3d nitrifikasi, dan laju denitrifikasi didapatkan empat kai lipat lebih tinggi 3,5-5 kg NO3-N/m3d. Pengolahan aerob Pengolahan biologi secara aerob umumnya melibatkan penguraian zat organik dengan adanya keberadaan oksigen. Pengolahan aerob konvensional meliputi lumpur aktif, filter tetes, laguna teraerasi, atau kombinasi dari ketiganya. Air limbah yang berasal dari industri gula semuanya dapat diurai secara biologi kecuali minyak dan lemak yang tidka mudah terdegradasi secara anaerob, hal ini dikarenakan minyak menghasilkan asam lemak rantai panjang selama tahap 7 hidrolisis yang menyebabkan penghambatan pada produksi metana. Asam lemak rantai panjang menjadi penghambat bagi bakteri metanogen. Ahmad dan Mahmoud [36] mengadakan percobaan di dalam reakstor partaian untuk menujukkan apakah pengolahan air limbah secara aerob dapat dilakukan atau tidak. Di dalam laporannya, menujukkan bahwa pengolahan secara aerob dapat dilakukan. Seliain itu, juga ditunjukkan bahwa pengurangan COD dapat diprediksi pada parameter yang diberikan dengan bantuan dari ubungan yang diberikan oleh Tucek, dkk . Pada awalnya pengolahan air limbah secara aerob menggunakan laguna/kolam, karena prosesnya ekonomis. Namun berbagai muncul masalah yang timbul seperti butuh tempat yang sangat luas, emisi yang tidak diinginkan, dan bau yang tidak sedap. Selain laguna, digunakan juga laguan teraerasi, dengan menggunakan laguna teraerasi dibutuhkan tempat yang lebih kecil dan waktu tinggal yang lebih sebentar dibandingkan laguna biasa. Namun kelemahan dari sistem ini, adalah HRT yang lama dan penggunaan oksigen yang terlalu besar, dan juga tempat yang dibutuhkan juga masih luas. Hamoda dan Al-Sharekh memeriksa performansi dari sistem, aerated submerged fixed-film ASFF, dimana bio-film dilekatkan pada ubin keramik yang ditenggelamkan dengan kondisi aerasi difusi. Disimpulkan bahwa proses ASFF mampu untuk menangani beban organik yang cukup berat sebesar 5-120 g BOD/m2d dalam hitungan menit dengan efisiensi penghilangan BOD berada dalam rentang 88,5%-97,9% dan 67,8%-73,6% untuk efisiensi penghilangan COD. Laju nitrifkasi juga berkurang namun pada laju yang lebih tinggi. Dari studi diatas tidak ada yang menunjukkan penghilangan bahan organik secara sempurna atau mendekati sempurna. Oleh karena itu, dibutuhkan tahap tambahan dalam pengolahan secara biologi. Sistem hibirida campuran antara pengolahan secara aerob dan anaerob telah dibuktikan mampu memberikan efisiensi penghilangan COD dengan kebutuhan energi yang lebih sedikit. Yang, dkk kombinasi antara UASB anaerob dan EAFB aerob untuk effluent dari pengolahan primer dari air limbah penggilingan tebu menghasilkan penghilangan COD lebih dari 99% pada HRT selama 2 hari. Air yang telah diolah ini memiliki kualitas yang lebih baik untuk proses irigasi. Metode Fisiko-Kimia Koagulasi/flokulasi dengan koagulan anorganik dan adsorpsi sudah umum digunakan untuk menghilangkan padatan tersuspensi, padatan koloid, dan padatan terlarut dari air limbah. Umumnya, koagulasi/flokulasi digunakan untuk pemurnian primer yang digunakan untuk air limbah industri. Di dalam proses koagulasi, partikel tak larut dan/atau material organik terlarut akan bergabung menjadi lebih besar, dan akan dihilalangkan melalui sedimetasi atau fitrasi. Hanya satu studi yang melaporkan pada literature terbuka tentang koagulasi dengan kapur dan subsekuen adsorpsi dengan arang aktif. Dilaporkan efisiensi penghilangan BOD dan COD berturut-turut 96% dan 95%. Parande, dkk mempelajari penghilangan COD di air limbah dari industri gula menggunakan metakaolin, karbon tamarindnut, dan karbon dates nut sebagai adsorben. Adsorpsi isotermal Langmuir dan Freundlich dilaporkan sesuai dengan data eksperimen. Studi menunjukkan bahwa metakaolin dapat memberikan efisiensi penghilangan COD pada dosis 500 mg/L dengan waktu kontak selama 180 menit saat pH 7. Pengolahan air limbah secara elektrokimia elibatkan elektrodeposisi, elektrokoagulasi, elektroflotasi, dan elektrooksidasi. Elektrodeposisi sangat efektif dalam memulihakan logam berat dari aliran air limbah. Elektrokoagulasi sudah sering digunakan untuk proses produksi air atau pengolahan air limbah. Elektrokoagulasi melibatkan generasi dari koagulasi secara in situ dengan cara pelarutan secara elektrik ion besi atau ion aluminium dari masing-masing elektroda besi atau elektroda aluminium. Generasi ion logam terjadi di anoda, sehigga gas idrogen terlepas dari katoda. Gas hydrogen yang dihasilkanakan membantu partikel terflokulasi mengapung keluar dari air. Proses ini disebut juga elektroflokulasi. Keuntungan dari elektrokoagulasi adalah efisiensi penghilangan partikulat yang tinggi, fasilitas pengolahan yang kompak, biaya yang relatif murah, dan kemungkinan yang tinggi bisa di automasi. Ada beberapa faktor yang berpengaruh elektrokoagulasi seperti desnitas arus, keberadaan NaCl, efek pH, temperatur, dan pemasok daya. Pemisahan lumpur terflokulasi dari air limbah dapat diwujudkan dengan menggunakan elektroflokulasi. Elektroflotasi merupakan proses sederhana yang mengapungkan polutan ke permukaan air melalui gelembung kecil yang terdiri dari gas hidrogen dan oksigen yang dihasilkan dari elektrolisis air. Ada beberapa parameter yang mempengaruhi kinerja dari elektroflokulasi seperti pH, susunan elektroda, dan densitas arus. Elektroflokulasi sangat efektif dalam menghilangkan partikel koloid, minyak dan lemak, sebaik untuk membersihkan polutan organik. Elektroflokulasi terbukti memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan flokulasi udara terlarut, sedimentasi, dan flotasi impeller. Di dalam pengolahan dengan menggunakan elektrooksidasi, material organik akan dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air atau oksida lainnya secara elektrokimiawi oleh oksigen yang reaktif dan/atau agen pengoksidasi. 8 Capunitan, dkk menginventigasi elektrooksidasi dan elektrokoagulasi untuk mengolah proses pertukaran ion pada air limbah dari penyulingan gula pada nilai arus yang berbeda. Metode elektro-oksidasi menunjukkann decolorization sebesar 99,9%, penghilangan COD sebesar 63,1%, dan penghilangan TSS sebesar 90,5% pada arus 5A dan waktu elektrolisis selama 7 jam. Pada elektro-koagulasi pada arus 5A dan waktu elektrolisis selama 8 jam menghasilkan decolorization sebesar 71,2% penghilangan COD sebesar 18,5%, dan penghilangan TSS sebesar 97,4%. Berdasarkan data yang telah disebutkan menunjukkan bahwa elektrooksidasi lebih baik daripada elektrokoagulasi, baik dari sisi penghilangan zat organik yang terkandung dalam air limbah dan juga energi yang dibutuhkan. Dari studi lain, Guven, dkk melakukan percobaan dengan menggunakan elektrokoagulasi untuk mengolah air umpan bekas pabrik gula. Efek dari berbagai parameter operasional seperti tegangan yang digunakan, konsentrasi elektrolit, dan konesnetrasi limbah dipelajari untuk persentase penghilangan COD dan laju awal penghilangan COD. Penghilangan COD dan laju awal penghilangan COD tertinggi sebesar 79,66% dan 33,69 mg/L. Di dalam elektrokoagulasi, material elektroda memainkan peranan penting dalam kualitas pengolahan. Selain menggunakan metode elektrokimia, metode adsorpsi dapat digunakan untuk mengolah air limbah dari indsutri gula. Adsorben yang dapat digunakan untuk mengolah air limbah dapat berupa arang aktif, bentonite, lignite, Mgo dan fly ash. Dengan menggunakan adsorbsi dapat menghilangkan COD, TDS, TSS, minyak, lemak, COD, BOD, bau dan warna hingga 80%. Dari keempat jenis adsorben tersebut, arang aktif diketahui memiliki efektifitas paling tinggi dibandingkan adsorben lainnya. Namun harga arang aktif 10 kali lebih mahal dibandingkan bentonite dan lignit. 5. Kualitas limbah yang diolah, penggunaan kembali dan rekomendasi Dari studi diatas, penelitian yang paling efektif untuk diaplikasikan dalam pengolahan air limbah dari industri gula adalah pengolahan secara anaerob. Sesuai pada bab bahwa minyak dan lemak tidak mudah diolah menggunakan metode anaerob, karena akan menghasilkan asam lemak rantai panjang pada tahap hidrolisis, yang menghambat proses pembentukan metana. Dan juga, proses anaerob menguraikan sebagian nutrient. Terlebih lagi, dari kesemuanya tidak ada yang mampu menghilangkan seluruh zat organik yang terkandung dalam air limbah. Di dalam bidang pengolahan secara aerob, laguna teraerasi, ASFF culture dan kultur campuran lumpur aktif sudah banyak digunakan untuk pengolahan air limbah industri gula. Berbagai penulis telah menunjukkan vahwa pengolahan air limbah menggunakan SBR menghasilkan persentase penghilangan bahan organik yang tinggi dan juga SBR tidak membutuhkan tempat yang luas jika dibandingkan dengan metode aerob lainnya. Metode hibrida antara anaerob dan aerob dapat menghilangkan kandungan bahan organik dari air limbah industri gula secara sempurna. Jurnal yang berkaitan dengan metode hibrida masih sedikit, sehingga dibutuhkan kerja lebih pada bidang ini. Dikarenakan air limbah daari industri gula mengandung banyak sekali DS dan SS, metode fisiko-kimia seperti adsorpsi dan koagulasi sangat cocok untuk digunakan. Namun, studi yang berkaitan dengan bidang ini masih sedikit. Parameter kinetika dan isotermal untuk adsorpsi belum ada bentuk laporan tertulis, padahal hal ini penting untuk perancangan dalam unit adsorpsi. Untuk elektrokoagulasi perlu ada studi lebih lanjut yang berkaitan dengan tipe elektroda yang digunakan di dalam pengelolaan air limbah menggunakan elektrokoagulasi. Di dalam elektrooksidasi zat organik di oksidasi langsung di permukaan dari elektroda. Oleh karena itu, tidak ada tempat untuk generasi untuk polutan sekunder. Ada berbagai kesempatan dan batasan dari berbagai metode yang digunakan untuk mengolah air limbah. Untuk metode anaerob keuntungan yang muncul antara lain memiliki ukuran reaktor yang relatinf kecil, membutuhkan energi yang lebih sedikit, memugkinkan menghasilkan energi melalui produksi metana selama proses penguraian zat organik, kurangnya produksi lumpur berlebih, dengan menggunakan co-digestion mampu menghilangkan VSS hingga 90%, kualitas effluent baik, mampu menahan beban COD yang tinggi hingga 16 kgCOD/m3d, penghilangan nitrogen rendah, namun laju denitrifkasi selama pengolahan dapat ditingkatkan, menggunakan bakteri yang immobilized pada padatan pendukung. Untuk metode aerob, keuntungan yang muncul antara lain proses aerated submerged fixed film ASFF mampu menahan beban organik yang berat 50-120 g BOD/m2d, kualitas effluent yang dihasilkan baik, Aerob SBR dilaporkan mampu menghasilkan penghilangan zat organik yang tinggi untuk air limbah di berbagai industri terutama untuk idnsutri gula, luas lahan yang dibutuhkan dalam SBR juga jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan lumpur aktif teraerasi. Pada pengolahan secara fisiko-kimia, keuntungan yang ada antara lain memiliki berbagai alternatif pengolahan air limbah seperti koagulasi/flokulasi, adsorpsi, elektrokimia, kombinasi sistem koagulasi dengan adsorpsi mampu meenghilangkan COD dan BOD sebesar 96% dan 95%, elektrooksidasi memberikan pengolahan yang lebih baik dibandingkan dengan elektrokoagulasi, dan tidak 9 generasi dari polutan sekunder yang terjadi di metode elektrooksidasi. Namun selain keuntungan terdapat juga batasan-batasan yang perlu diperhatikan dalam memilih metode yang akan digunakan untuk mengolaah air limbah industri gula. Yang pertama metode anaerob, didalam metode anaerob terdapat tiga batasan, yaitu minyak dan lemak tidak mudah diuraikan menggunakan metode anaerob, proses anaerob menguraikan sebagian zat organik, effluent perlu mendapatkan pasca pengolahan. Untuk metode aerob, batasan yang ada antara lain menghasilkan lumpur berlebih yang tinggi, membutuhkan tempat yang luas, mengemisikan bau yang tidak sedap selama proses penguraian, pengolahan secar aerob belum dapat menghilangkan zat organik di dalam air limbah. Untuk metode ppengolahan secara fisiko-kimia batasan yang muncul antara lain selama proses koagulas/flokulasi menggenerasi polutan sekunder, pada elektrokoagulasi elektroda akan larut dalam air limbah yang diakibatkan karena oksidasi dan membuat perlu di ganti secara rutin, lapisan elektroda dengan material oksida terdeposit ke katoda sehingga menyebabkan penurunan efisiensi pada proses elektrokoagulasi, pada kasus elektrokoagulasi, air limbah yang sudah diolah bisa jadi terkontaminasi oleh material dari elektroda. Air imbibisi, air pendingin, air make-up boiler, umpan scrubber, air make-up scrubber, umpan kondenser, dan air make-up kondenser adalah air yang sering digunakan di dalam industri gula. Jumlah rata-rata yang dibutuhkan untuk 1 ton tebu yang dihancurkan adalah sekitar 11 m3 per harinya [50]. Oleh karena itu dibutuhkan sekitar m3 air untuk industri gula dengan kapasitas produksi sebesar TCD. Air limbah yang diolah mungkin dapat digunakan kembali untuk konsumsi air yang berbeda untuk mengurangi beban air bersih dan mecapai target nol pembuangan air. Di sisi lain, penggunaan air limbah sebagai sarana irigasi merupakan cara lama untuk memanfaatkan air limbah dari industri gua, namun karena masih tinggi polutan di dalam air limbah malah berfek kepada terhambatnya pertumbuhan tumbuhan, berkurangnya hasil panen, dan rusaknya kesuburan tanah. Pengolahan air limbah yang didukung dengan penggunaan membrane seperti reverse osmosis RO, microfiltration MF, nanofiltration NF, ultrafiltration UF mampu menghasilkan effluent dengan kualitas tinggi agar dapat langsung dipakai. Hingga saat ini belum ada literature yang menunjukkan penggunaan membrane dalam pengolahan air limbah dari industri gula. Air limbah dari industri gula banyak sekali mengandung DS dan SS, sehingga dapat menyebabkan fouling yang parah kepada membrane. Oleh karena itu, untuk pengolahan air limbah dari industri gula perlu sistem hibrida yang menggabungkan antara penggunaan membrane, pengolahan secara biologis, dan pengelohan secara fisiko-kimia. 6. Kesimpulan Dari pembahasan yang sudah dilakukan di atas, didapat bahwa pengelolaan secara anaerob memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Selain itu , metode ini juga membutuhkan biaya yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan metode lainnya. Namun kelemahan metode ini, adalah tidak mampu untuk mengolah kandungan air limbah yang berupa lemak dan minyak dan effluent yang dihasilkan perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut. Dana juga belum ada metode yang mampu meghilangkan scara 100% kandungan bahan organik yang ada di dalam air limbah. Namun, pengolahan secara aerob juga menjanjikan terutama dengna menggunakan SBR dikarenakan dapat menghasilkan efisiensi penghilangan nutrient dan bahan organik yang tinggi. Untuk mendapatkan efisiensi yang lebih tinggi, dapat menggunakan metode hibrida, dengan menggabungkan penggunaan membrane, metode pengolahan secara bioligis aerob dan anaerob, dan pengolahan secara fisiko kimia. Dengan metode hibrida, batasan-batasan masing-masing metode dapat diminimalisir. Daftar Notasi BOD — Biological Oxygen Demand mg/L COD — Chemical Oxygen Demand mg/L TCD — Tones Crushed per Day TS — Total Solids TKN — Total Kjeldahl Nitrogen mg/L AFR — Anaerobic Fixed-Bed Reactors UASB — Up-Flow Anaerobic Sludge Blanket HRT — Hydraulic Retention Time OLR — Organic Loading Rate UAFB — Up Flow Anaerobic Fixed Bed TDS — Total Dissolved Solids VSS — Volatil Suspended Solids FCMR — Batch-Fed Continuously Mixed Anaerobic Reactor SBR — Sequential Batch Reactor TSS — Total Suspended Solids ASFF — Aerated Submerged Fixed-Film DS — Dissolved Solids SS — Suspended Solids NF — Nanofiltration RO — Reverse Osmosis MF — Microfiltration UF — Ultrafiltration EC — Electro-Chemical EO — Electro-Oxidation TP — Total Phosphorous 10 Daftar Pustaka References Anonim, Jatim Siapkan Pabrik Gula Baru Menuju Swasembada Gula 2014, Available diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pukul Manning, Elaine. Wastewater Disposal at Sugar Factories. A Status Report. Sugar Industri Research [1] Anonim. Makalah Proses Pembuatan Gula. Available diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pukul [2] Tantuayo, Raditya. Flow sheet atau Proses Pengolahan Gula PG Tersana Baru. Available diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pukul [3] Jensen, C. and Schumann, G. 2001. Implementing a zero effluent philosophy at a cane sugar factory. Proceedings of International Society of Sugarcane Technologists, 24 74-79. [4] R. Pastor, L. Abreu, A. Espufia, L. Puigjaner, Minimization of water consumption and wastewater discharge in the sugar cane industri, Eur. Symp. Comput. Aided Process Eng. 10 2000 907–912. [5] Gunjal, Baban, and Gunjal, Aparna. Water Conservation in Sugar Industri. Nature Environment and Pollution Technology, 12 325-330. 2013 [6] World Bank, Pollution Prevention and Abatement Handbook, Sugar Manufacturing, The World Bank, Washington, DC, 1997 [7] E. Alkaya, Demirer, Anaerobic acidification of sugar-beet processing wastes Effect of operational parameters, Biomass Bioenergi 35 2011 32–39. [8] Hampannavar, Shivayogimath, Anaerobic treatment of sugar industri wastewater by upflow anaerobic sludge blanket reactor at ambient temperatur, Int. J. Environ. Sci. 1 4 2010 631–639. [9] M. Khan, U. Kalsoom, T. Mahmood, M. Riaz, Khan, Characterization and treatment of industrial effluent from sugar industri, J. Chem. Soc. Pak. 253 2003 242–247. [10] Cakira, Stenstromb, Greenhouse gas production A comparison between aerobic and anaerobic wastewater treatment technology, Water Res. 39 2005 4197–4203. [11] A. Wheatley, Anaerobic Digestion A Waste Treatment Technology, Elsevier Applied Science, London, 1990. [12] Kushwaha, Srivastava, Mall, Treatment of dairy wastewater by inorganic coagulants Parametric and disposal studies, Water Res. 4420 2010 5867–5874. [13] Sanchez, L. Travieso, Anaerobic treatment of sugar-mill wastewater in downflow fixed-bed reactors, Bioresour. Technol. 48 1994 179–181. [14] Doke, Khan, J. Rapolu, A. Shaikh, Physico-chemical analysis of sugar industri effluent and its effect on seed germination of Vigna angularis, Vigna cylindrical and Sorghum cernum, Ann. Environ. Sci. 5 2011 7–11. [15] F. Merhdad, B. Mehdi, U. Valentina V., Treatment of beet sugar wastewater by UAFB bioprocess. Bioresource technology 98 2007 3080-3083. [16] Peixoto, G., Saacvedra Varesche Zaiat M., Hydrogen production from soft-drink wastewater in an upflow anaerobic packed-bed reactor. International journal of hydrogen energi 36 2011 8953-8966 [17] Fang HHP, Li YY, and Chui HK, 1995. UASB Treatment of Wastewater with Concentrated Mixed VFA. Journal of Environmental Engineering, Vol. 121 2 153-160. [18] Nacheva, Chavez, Chacon, Chuil, Treatment of cane sugar mill wastewater in an upflow anaerobic sludge bed reactor, Water Sci. Technol. 605 2009 1347–1352. [19] Hampannavar, Shivayogimath, Anaerobic treatment of sugar industri wastewater by upflow anaerobic sludge blanket reactor at ambient temperatur, Int. J. Environ. Sci. 1 4 2010 631–639 [20] Anonim. UASB – Upflow Anaerobic Slude Blanet Process /Reactors. Available diakses pada tanggal 24 Oktober 2016 pukul [21] E. Alkaya, Demirer, Anaerobic mesophilic co-digestion of sugar-beet processing wastewater and beet-pulp in batch reactors, Renew. Energi 36 2011 971–975. [22] E. Alkaya, Demirer, Anaerobic-fed and sequencing batch treatment of sugar-beet processing wastes A comparative study, Water Environ. Res. 833 2011 247–255. [23] Samaraweera, McGillivray, Rheault, Microbial issues encountered in wastewater treatment at Moorhead sugar factory and remedial measures, Zuckerindustrie 1347 2009 476–485 [24] E. Alkaya, Demirer, Anaerobic acidification of sugar-beet processing wastes Effect of operational parameters, Biomass Bioenergi 35 2011 32–39. [25] C. Nicolella, Van Loosdrecht, Hejnen, Wastewater treatment with particulate biofilm reactors, J. Biotechnol. 80 2000 1–33 [26] Jo¨rdening, K. Buchholz, High-rate anaerobic wastewater treatment, in Jo¨rdening, J. Winter, Eds., Environmental Biotechnology, Wiley-VCH, Weinheim, 2005, pp. 135–162 [27] Jo¨rdening, K. Hausmann, B. Demuth, M. Zastrutzki, Use of immobilised bacteria for the 11 wastewater treatment—Examples from the sugar industri, Water Sci. Technol. 533 2006 9–15 [28] F. Carta-Escobar, J. Pereda-Marin, P. Alvarez-Mateos, F. Romero-Guzman, Duran-Barrantes, F. Barriga-Mateos, Aerobic purification of dairy wastewater in continuous regime. Part I Analysis of the biodegradation process in two reactor configurations, Biochem. Eng. J. 21 2004 183–191. [29] K. Hanaki, T. Matsuo, M. Nagase, Mechanism of inhibition caused by long-chain fatty acids in anaerobic digestion process, Biotechnol. Bioeng. 23 1981 1591–1610. [30] S. Ahmad, Mahmoud, Wastewater from a sugar refining industri, Water Res. 16 1982 345–355 [31] F. Tucˇek, J. Chudoba, V. Madeˇra, Unified basis for design of biological aerobic treatment processes, Water Res. 5 1971 647–680. [32] C. Nahle, Biological purification of sugar factory wastewater beet and cane, In Van der Poel, H. Schiweck, T. Schwartz Eds, Sugar Technology Beet and Cane Sugar Manufacture, Verlag Dr, Albert Bartens, KG, Berlin, pp. 1008–1018, 1998. [33] Hamoda, Al-Sharekh, Sugar wastewater treatment with aerated fixed-film biological systems, Water Sci. Technol. 40 1999 313–321. [34] Aryanti, P. T. P., Yustiana, R., Purnama, R. E. D., & Wenten, I. G. 2015. Performance and characterization of PEG400 modified PVC ultrafiltration membrane. Membrane Water Treatment, 65 379-392 [35] Himma, N. F., Wardani, A. K., & Wenten, I. G. 2017. Preparation of Superhydrophobic Polypropylene Membrane Using Dip-Coating Method The Effects of Solution and Process Parameters. Polymer-Plastics Technology and Engineering, 562, 184-194. [36] Yang, Chang, Whalen, Anaerobic/aerobic pre-treatment of sugarcane mill wastewater for application of drip irrigation, Water Sci. Technol. 299 1991 243–250 [37] Kushwaha, Srivastava, Mall, An overview of various technologies for the treatment of dairy wastewaters, Crit. Rev. Food Sci. 5105 2011 442–452. [38] Khoiruddin, Ariono, D., Subagjo, & Wenten, 2017. Surface modification of ion-exchange membranes Methods, characteristics, and performance. Journal of Applied Polymer Science. DOI [39] Wenten, I. G., Khoiruddin, K., Hakim, A. N., & Himma, N. F. 2017. The Bubble Gas Transport Method. Membrane Characterization, 199. [40] Sianipar, M., Kim, S. H., Iskandar, F., & Wenten, I. G. 2017. Functionalized carbon nanotube CNT membrane progress and challenges. RSC Advances, 781, 51175-51198 [41] M. Khan, U. Kalsoom, T. Mahmood, M. Riaz, Khan, Characterization and treatment of industrial effluent from sugar industri, J. Chem. Soc. Pak. 253 2003 242–247. [42] Parande, Sivashanmugam, H. Beulah, N. Palaniswamy, Performance evaluation of low cost adsorbents in reduction of COD in sugar industrial effluent, J. Hazard. Mater. 1682–3 2009 800–805. [43] Chen, Guohua. Electrochemical technologies in wastewater treatment. Separation and purification technology 38 2004 11-41. [44] Raju, Khangaonkar, Electroflotation—A Critical Review, Trans. Indian Inst. Met. 37 1 1984 59–66. [45] Aryanti, P. T. P., Sianipar, M., Zunita, M., & Wenten, I. G. 2017. Modified membrane with antibacterial properties. Membrane Water Treatment, 85, 463-481 [46] Aryanti, P. T. P., Joscarita, S. R., Wardani, A. K., Subagjo, S., Ariono, D., & Wenten, I. G. 2016. The Influence of PEG400 and Acetone on Polysulfone Membrane Morphology and Fouling Behaviour. Journal of Engineering and Technological Sciences, 482, 135-149. [47] Capunitan, Alfafara, Migo, Movillon, Dizon, M. Matsumura, Decolorization and chemical oxygen demand COD reduction of sugar refinery spent ionexchange- process SIEP effluent by electrochemical treatment methods, Philippine Agric. Sci. 914 2008 416–425. [48] G. Guven, A. Perendeci, A. Tanyolac, Electrochemical treatment of simulated beet sugar factory wastewater, Chem. Eng. J. 151 2009 149–159. [49] Sunitha M., Rafeeq, Sugar Industri Wasterwater treatment Using Adsorption. Ir. Of Industrial Pollution Control 25 2 2009 pp 109-112 [50] C. Nahle, Purification of wastewater in sugar factories—Anaerobic and aerobic treatment, N-elimination, Zuckerindustrie 115 1990 27–32. [51] T. Ramjeawon, Cleaner production in Mauritian cane-sugar factories, J. Cleaner Prod. 8 2000 503–510. Mimien Henie Irawati Al MuhdharMurni Sapta SariDwi Pipit IndriyantiMuhammad Shalahuddin RahmansyahThe research which had been conducted in March–June 2019 had the purpose of determining the effect of water spinach Ipomoea aquatica on BOD and COD levels in Krebet Sugar Mill wastewater with phytoremediation technique. The research used the posttest-only control group design. Liquid waste experiments were taken at three points on the waste stream using water spinach Ipomoea aquatica with three repetitions. Data analysis using statistical description by comparing each data obtained from the treatments with controls. The results of the study showed that the Krebet Sugar Mill wastewater treatment using water spinach plants phytoremediation technique was able to reduce BOD parameters by mg/L at the first point; mg/L at the second point; and mg/L at the third point; while COD parameters was mg/L at the first point; mg/L at the second point; and mg/L at the third point. The conclusion of this research is the phytoremediation technique using water spinach plants influential can reduce the levels of BOD and COD in liquid role of carbon nanotube CNT as filler in a membrane matrix became popular recently. CNT is believed to solve the trade-off issue between permeability and selectivity, and also fouling problems in membrane filtration applications. Their fullerene form is a key point to provide a higher pore size on membrane surface as well as empty space called porosity in membrane structures. However, the hydrophobicity characteristic of CNT has made it difficult to distribute and it tends to agglomerate with each other which leads to a decrease in the dispersion ability in a solvent and, in the same way, a decline in the compatibility of a membrane structure. Functionalization of CNT is expected to solve those problems. Moreover, membrane hydrophilicity, which is provided by the existence of hydrophilic functionalized CNT, is aimed to achieve the anti trade-off between permeability and selectivity based on a electrostatic repulsion concept. By an electrostatic repulsion process, a pollutant will be repelled from attaching to a membrane surface while water will be strongly attracted and be transported through the membrane. Therefore, various approaches have been investigated to functionalize CNT for achieving a high dispersion of CNT as well as high compatibility between CNT and a polymer matrix which lead to improvement of modified membrane properties and performances. This paper reviews the progress of CNT functionalization applied in membrane filtration during the years 2006 up to 2016. The influence of functionalized CNT in improving membrane properties as well as membrane performances is specifically of polysulfone ultrafiltration membrane was conducted by blending polysulfone with PEG400 and acetone as additives. The influence of each additive on the resulted membrane morphology and fouling characteristics were investigated. The experimental results showed that the hydrophilicity of the polysulfone membrane was improved by the increase of PEG400 in the polysulfone membrane. The water contact angle of the membrane was decreased from to when 35 %wt of PEG400 was added into the polysulfone solution, while the water content of the membrane was increased by around 38%. The high concentration of PEG400 in the polysulfone solution led to the formation of longer finger-like cavities in the membrane structure and resulted in a thicker membrane skin layer. The high concentration of PEG400 also contributed to the increase in hydraulic resistance of the membrane due to organic matter fouling. This problem could be minimized by the addition of acetone into the polysulfone solution, which resulted in a lower fouling resistance of organic matter during up to five hours of peat water filtration. Ping-Yi YangL. J. ChangS. A. WhalenBecause of inappropriate management of sugarcane mill wastewater in Hawaii, odor problems and handicaps to wastewater reuse for drip irrigation and sugarcane washing have developed. Based on the previous work on wastewater characterization and relevant literature review, a combined anaerobic UASB and aerobic EAFB treatment of supernatant of settled sugarcane mill wastewater for the application of drip irrigation was proposed and investigated. It has been found that the system can efficiently ≥ 99% remove the organics and solids in wastewater within two days of hydraulic retention time provided. The treated effluent provides better water quality for application of drip irrigation. The alternatives UASB + EAFB and UASB + AL were compared based on the net present worth NPW. It has been found that the combined treatment alternative UASB + EAFB for the application of drip irrigation is more cost effective than the alternative of UASB + AL. Thus, combined UASB + EAFB treatment for sugarcane mill wastewater provides not only for the removal of pollution potential, but also for the reuse of the properly treated wastewater for drip irrigation in the land-limited and populated areas. Mohamed HamodaHamed A. Al-SharekhWastewater effluents from the sugar industry contain high concentrations of organic materials which are sometimes discharged into the municipal wastewater collection system and processed in wastewater treatment plants along with domestic wastewater. This study examined the performance of a four-compartment, fixed-film system in which the biofilm is attached to submerged ceramic tiles under diffused aeration, known as the aerated submerged fixed-film ASFF process. Field experiments were conducted using four ASFF units each of about 100 1 capacity operated at different hydraulic loading rates to provide hydraulic residence time HRT of 2, 4, 6 and 8 hours. Process performance was evaluated under both normal operation with domestic wastewater and under pulse and prolonged organic shock loads with sugar wastewater. The influent and effluent of the process was analyzed for solids, BOD, COD, and nitrogen forms to determine both carbonaceous and nitrogenous substrate removal. The ASFF process was found to be able to handle continuous severe organic loads increasing from about 5 to 120 g BOD/ with slight decrease in organic removal efficiency from to for BOD and from to for COD. Nitrification was similarly decreased but at higher rates. The system was also able to cope with pulse injection of sugar wastewater and recovery to normal steady-state COD values was achieved in 10 hours for the 200 g COD/l spikes. An increase in the organic loading rate was accompanied by an increase in biofilm specific oxygen uptake rate until reaching a maximum which determines the optimum loading rate for process operation. Substrate removal rates were evaluated for process have been considered as a major foulant that initiates the formation of biofilm on the polymeric membrane surface. Some polymeric membranes are naturally antibacterial and have low fouling properties, however, numerous efforts have been devoted to improve their antibacterial performance. These modifications are mostly carried out through blending the membrane with an antibacterial agent or introducing the antibacterial agent on the membrane surface by chemical grafting. Currently, a significant number of researches have reported nanocomposite membrane as a new approach to fabricate an excellent antibacterial membrane. The antibacterial nanoparticles are dispersed homogenously in membrane structure by blending method or coating onto the membrane surface. Aim of the modifications is to prevent the initial attachment of bacteria to membrane surface and kill bacteria when attached on the membrane surface. In this paper, several studies on antibacterial modified membranes, particularly for water treatment, will be reviewed comprehensively. Special attention will be given on polymeric membrane modifications by introducing antibacterial agents through different methods, such as blending, grafting, and effort has been made to improve ion-exchange membrane IEM properties in order to achieve better performance of IEM-based processes in various applications. Surface modification is one of the effective ways to improve IEM properties. Various methods have been used to modify IEM surfaces, for example, plasma treatment, polymerization, solution casting, electrodeposition, and ion implantation. These methods are able to produce a thin and fine distributed layer and also to modify the chemical structure of the surface. The new layer can be adsorbed, deposited, or chemically bonded on a membrane surface. By using these methods, IEM properties are improved, and the desired or specific characteristics such as high monovalent ion permselectivity, low fuel crossover, and anti-organic-fouling property can be obtained. In this paper, methods for surface modification of IEMs are reviewed. Moreover, the effects of modification on IEM properties and performance are discussed. © 2017 Wiley Periodicals, Inc. J. Appl. Polym. Sci. 2017, 134, Y. Cakir Michael Knudson StenstromAnaerobic wastewater treatment offers improved energy conservation with potential reduction in greenhouse gas emissions. Pitfalls exist in that the methane produced in anaerobic treatment can offset any reductions in carbon dioxide emissions, if it is released to the environment. This paper analyzes greenhouse gas emissions from both aerobic and anaerobic treatment systems, including sludge digestion and the losses of dissolved methane in digested biosolids and process effluents. There exists cross over points, ranging from 300 to 700 mg/L influent wastewater BODu, which are functions of the efficiency of the aerobic treatment system. Anaerobic treatment becomes favorable when treating influents higher in concentrations than the cross over values. A technology to recover dissolved methane would make anaerobic treatment favorable at nearly all influent polypropylene hollow fiber membranes were prepared through two-step dip-coating process. The effects of solution and process parameters were investigated. It was found that polymer solution concentration and temperature were crucial parameters to obtain homogeneous coating. High hydrophobicity could be achieved by controlling the polymer solution concentration and drying temperature. Using methyl ethyl ketone as nonsolvent, the membrane surface roughness was increased, resulting in superhydrophobicity with high contact angle of The modified membrane still exhibited lower flux than unmodified membrane in water–oil separation due to porosity decrease. However, their water rejections were RafeeqActivated charcoal, bentonite and lignite have been used as adsorbents for the treatment of sugar industry wastewaters. Bentonite and lignite are more economical as compared to activated charcoal and have been found to be effective in removal of pollutional constituents from the waste. Jakarta - Banyak produk cokelat yang dibuat secara massal di pabrik. Proses ini melibatkan bahan baku yang sangat banyak, teknik pengolahan yang panjang serta menggunakan mesin penggemar cokelat tentu tidak asing dengan ragam produk cokelat yang ada di pasaran. Varian cokelat dark, cokelat susu atau cokelat dengan campuran kacang dan kismis bisa dengan mudah ditemui di seperti ini diproduksi secara massal di pabrik yang menerapkan teknologi canggih. Dilansir dari Interesting Engineering 2/3 sebuah pabrik cokelat di Turki menunjukkan proses pengolahan cokelat mulai dari biji hingga produk cokelat lezat yang siap dikonsumsi. Setiap langkah proses pembuatan cokelat ini melibatkan mesin canggih. Sehingga seluruh cokelat yang dihasilkan memiliki kualitas yang beberapa langkah pengolahan cokelat di pabrik1. Proses pembuatan cokelatPembuatan cokelat di pabrik Foto Interesting EngineringLangkah pertama yang dilakukan untuk mengolah cokelat ini adalah dengan memanggang biji kakao hingga warnanya kecoklatan. Biji kakao yang sudah dipanggang kemudian dipotong kecil-kecil, bagian ini dikenal dengan sebutan chocolate kemudian diolah kembali hingga menjadi cocoa mass atau bubuk cokelat. Ketika bahan baku sudah siap, saatnya mengolah berbagai varian rasa jenis cokelat susu dibuat dalam alat berupa tong besar yang digunakan untuk mencampur susu cair, susu bubuk dan cokelat. Di dalam mesin ini terdapat alat aduk yang besar sehingga memastikan seluruh komposisi bisa tercampur proses ini juga kerap dicampur dengan gula dan bahan lainnya. Semua diaduk rata hingga tercapai tekstur, rasa, dan warna yang diinginkan. Untuk varian cokelat kacang pun prosesnya dilakukan menggunakan alat pengaduk Proses pencetakan cokelatSetelah cokelat tercampur rata, proses selanjutnya adalah mencetak cokelat. Cokelat yang teksturnya masih cair kental ini dituangkan perlahan pada alat cetak uang sudah disiapkan. Proses ini juga melibatkan alat besar dan cair yang telah disiapkan dituangkan ke dalam wadah khusus pada mesin yang siap untuk dituangkan kembali ke dalam cetakan. Barisan cetakan cokelat ini kemudian dimasukkan ke mesin yang bergetar. Tujuannya adalah untuk meratakan cokelat dan mengeluarkan udara yang terperangkap dalam cairan dan ukuran cetakan cokelat ini beragam sesuai dengan produk yang dihasilkan pabrik. Setelah cetakan diisi, cokelat dimasukkan ke mesin pendingin untuk membuat cokelat padat dan cokelat di pabrik Foto Interesting Enginering3. Proses pengemasan cokelatMenggunakan mesin conveyor belt, cokelat yang sudah dikeluarkan dari cetakan kemudian dikemas. Pada beberapa titik di sepanjang konveyor, terdapat sensor digital yang menghitung dan memeriksa konsistensi dan kualitas setiap potongan sini juga para pekerja memilih cokelat secara acak sebagai tahap pemeriksaan kualitas. Setelah melewati tahap ini, potongan cokelat dimasukkan ke mesin lain untuk proses pemberian label dan dibungkus, masing-masing cokelat kemudian diarahkan ke jalur khusus untuk dikumpulkan dalam wadah. Wadah-wadah ini kemudian dimasukkan untuk kemasan luar serta dilakukan kontrol pun siap didistribusikan ke toko dan supermarket untuk dijual. Selama proses distribusi ini juga tidak boleh sembarangan karena cokelat sangat sensitif terhadap suhu panas serta teksturnya yang lunak juga cepat rusak jika tidak ditangani dengan baik. Simak Video "Masak Masak Susu Cokelat Hangat dengan Marshmallow" [GambasVideo 20detik] dvs/odi

pengolahan bahan bahan di pabrik yang besar digunakan teknologi